Sepatu Akuarium
Pada
tahun 1970-an, dunia mode memperkenalkan tren sepatu ‘disco goldfish’.
Ciri khas sepatu ini memiliki akuarium mini di bagian hak atau solnya,
yang biasanya terbuat dari bahan transparan semacam kaca akrilik.
Beberapa model didesain dengan menempatkan knop di bagian sol atau hak.
Saat hendak dikenakan, knop bisa dibuka untuk memasukkan air dan ikan.
Setelah digunakan, ikan bisa dikembalikan lagi ke akuarium yang lebih
nyaman. Namun, ada juga yang melengkapinya dengan tombol gelembung udara
untuk memberi napas ikan seperti akuarium pada umumnya. Namun, belakangan tren sepatu itu lenyap. Banyak orang tak tega menempatkan ikan di dalam alas sepatu. Meski
banyak pemakai menempatkan ikan hanya selama beberapa jam saat sepatu
digunakan, namun seringkali ikan lebih cepat mati. Guncangan dan
minimnya oksigen dalam sepatu membuat ikan cepat sekarat. Itulah yang
kemudian mendorong para desainer yang mencintai jenis sepatu ini
memproduksi sepatu dengan tampilan ikan artifisial. Berbagai variasi
yang diciptakan tetap sama, mulai dari model high heels, boot, pantofel,
hingga sepatu olahraga
Sepatu Zaman Es
Walaupun
para arkeolog kesulitan menentukan kapan tepatnya manusia berhenti
bertelanjang kaki, diperkirakan sepatu pertama muncul antara 40 ribu-26
ribu tahun lalu. Pada zaman es, manusia memanfaatkan sepatu untuk alas
kaki saat berburu binatang. Jenis sepatu yang dipakai manusia saat itu
berupa lilitan kulit kayu yang ditemukan di pegunungan Alpen Prancis.
Bentuknya masih sangat sederhana dan sangat terbuka sehingga belum
melindungi kaki seperti pada sepatu yang ada saat ini. Model inilah yang
kemudian berkembang menjadi sepatu gladiator.
Sepatu Kharam
Bentuk
sepatu dengan paku di daerah telapak kaki memang terlihat sangat
menyiksa, namun diyakini mampu memberi kedamaian bagi pemakainya. Sepatu
ini sengaja memakai kayu sebagai elemen utama, karena dianggap unsur
murni bumi yang dapat mengeluarkan kotoran. Alas kaki yang dikenal
dengan sebutan Kharam ini banyak dipakai orang-orang kudus, para sarjana
dan guru India di masa lalu. Tak heran jika patung dewa dan setengah
dewa di negara itu memakai Kharam. Orang India kuno percaya, pemakai
Kharam berarti ada di jalan kebajikan dan pemurnian. Sepatu ini dipakai
untuk memberikan ketenangan pikiran dan mengendalikan indera manusia.
Pasak-pasak yang tersebar di sekitar jemari kaki dipercaya mampu memijat
titik-titik tertentu yang memberi ketenangan jiwa.
Sepatu Mendaki Awan
Sepatu
yang satu ini berbentuk wedges dengan bagian ujung menjulang. Sepatu
yang diciptakan pada zaman China kuno itu dikenal dengan sebutan sepatu
‘mendaki awan’. Sepatu dengan model tertutup itu menjadi alas kaki para
wanita di Istana Kaisar Manchu. Alas wedges berwarna putih dengan bagian
ujung menjulang itu membuat pemakainya bagaikan melangkah dan berdiri
di atas awan. Alas sepatu itu terbuat dari kayu setinggi 12 sentimeter
dengan sol bagian dalam berupa kulit sapi. Khusus untuk permaisuri
kaisar, penutup kaki dibuat dari bordiran sutera dengan desain lukisan
awan kerajaan.
Sepatu Pot Bunga
Sepatu
model platform ini menutup kaki hingga batas pergelangan. Sepatu yang
dikenakan para wanita pada masa Kekaisaran Manchu itu dikenal sebagai
‘pot bunga’ karena bentuknya yang menyerupai tempat tatanan kembang. Di
balik desainnya yang unik, sepatu ini memiliki keistimewaan di bagian
solnya yang dipercaya mampu menghasilkan nada ritmik untuk menghalau
ular dan serangga. Sepatu dengan desain feminin ini merupakan pasangan
jubah panjang para wanita Manchu.
Sepatu kertas
Sepatu
berbahan kertas daur ulang ini merupakan buah karya seniman Inggris,
Jennifer Collier. Pilihan bahan yang mudah rusak membuat sepatu ini tak
dapat dipakai dan hanya menjadi produk pameran. Sepatu ini termasuk
salah satu produk yang ditampilkan dalam pameran gaun dan sepatu dari
bahan non-konvensional di Rochester Inggris. Tak hanya sepatu kertas,
Collier juga mengaduk-ngaduk pasar, toko kelontong, kios buah-buahan dan
sayuran untuk menemukan bahan yang tepat menciptakan karya seni sepatu
daur ulangnya.